Senin, 23 Juni 2008

SELAMATKAN INDONESIA!!!

Dalam 30 tahun terakhir, dunia menyaksikan bangkitnya imperialisme ekonomi yang dilancarkan Negara-negara Barat, Negara-negara eks kolonialis, lewat apa yang dinamakan globalisasi. IMF, Bank Dunia, dan WTO adalah tiga intitusi pilar globalisasi.

Mereka membangun system korporatokrasi yang berunsurkan korporasi besar, kekuatan politik pemerintah, lingkaran militer, perbangkan dan keuangan internasional, media massa dan kelompok intelektual prokemapanan. Unsur-unsur korporatokrasi itu dapat menerobos ke Negara-negara berkembang dengan bantuan elite nasionalnya yang bersedia menjadi komprador atau pelayan kepentingan korporatokrasi. Sementara itu Pax Americana yang memimpikan supremasi atau hegemoni Amerika Serikat telah mebonceng proses globalisasi itu.

Sayang sekali, pemerintahan Yudhoyono membawa Indonesia ke posisi subordinasi di bawah korporatokrasi internasional itu. Indonesia tidak mungkin memelihara kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandiriannya apabila Indonesia tetap menjadi subordinat kepentingan kapitalis dunia.

Kita melarat karena belum sepenuhnya bebas dari cengkraman kekuatan asing. Masyarakat tidak mengetahui bahwa produksi minyak nasional sebesar sekitar 1 juta barrel/hari sekarang ini sudah didominasi oleh korporasi asing. Di samping itu muatan laut Indonesia sebesar 46,8% dikuasai oleh kapal berbendera asing, lebih dari 50% perbankan nasional dikuasai asing, telekomunikasi dikendalikan asing (Indosat dimiliki Temasek Singapura, disamping 35% saham Telkom, dan 98% saham XL juga milik asing), bahkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan dengan Singapura telah merugikan kepentingan Pertahanan Keamanan Indonesia.

Pasal-pasal pengamanan kepentingan asing ini terutama terlihat dalam UU Penanaman Modal Asing, tepatnya pada Bab V “Perlakuan terhadap Penanaman Modal”. Bab ini bahkan lebih liberal dari Negara-negara maju, karena tidak disertai dengan escape clause sebagai langkah pengamanan kepentingan dalam negeri. Mereka menguasai ekonomi (tetapi sesungguhnya juga politik dan pertahanan keamanan) kita lewat apa yang dinamakan state-hijacked corruption, yakni korupsi yang menyandera Negara.

UU Penanaman Modal Asing tersebut beserta Peraturan Presiden No.76 dan 77 Tahun 2007 sesungguhnya merupakan coup de grace atau pukulan telak dan mematikan bagi penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan Yudhoyono telah membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai perekonomian Indonesia.

Mengapa Indonesia takut untuk meminta negoisasi?
Kalau nasionalisme dianggap terlalu ekstrem, terlalu revolusioner, bukankah ada jalan lain untuk mencapai keadilan demi perbaikan nasib Indonesia sendiri.

Seperti halnya langkah negoisasi ulang yang dilakukan Negara-negara Amerika Latin sehingga mendatangkan keuntungan jauh lebih banyak. Venezula di bawah Hugo Chavez dan Bolivia di bawah Evo Morales telah membuktikan hal itu. Lagi pula bukankah Pasal 1 ayat 2 The International Right Covenant on Civil and Political Right telah mengatakan bahwa semua bangsa, untuk mencapai tujuannya memiliki kekbebasan untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alamnya. Dalam pasal ini juga dikatakan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus didasarkan pada prinsip saling untung. Tidak dibenarkan suatu bangsa kehilangan atau dihilangkan hak hidupnya.

Haruskah nasib bangsa ini ditentukan oleh SELEMBAR KERTAS PERJANJIAN yang tidak berazas pada keadilan? Perjuangan harus jalan terus. Bukankah Bung Karno pernah mengajarkan, FOR A FIGHTING NATION Indonesia tidak ada stasiun akhir.

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda menarik,artikel anda di:

http://politik.infogue.com/ http://politik.infogue.com/selamatkan_indonesia

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca di seluruh nusantara.salam blogger!!!

SELAMAT DATANG DI AZIMUTYO BLOG
Lilypie Kids Birthday tickers